Komisi VII Menilai Verifikasi Ijin Usaha Pertambangan di Kalbar Belum Sinkron
Berdasarkan paparan beberapa perusahaan pertambangan di Kalimantan Barat, Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi VII DPR RI ke Provinsi Kalimantan Barat menilai Verifikasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sampai saat ini belum sinkron.
Hal tersebut disampaikan Ketua Tim Kunker Komisi VII DPR RI yang juga Ketua Komisi VII DPR RI Teuku Riefky Harsya saat pertemuan dengan beberapa perusahaan pertambangan yang memiliki IUP di Pontianak, beberapa waktu lalu.
Riefky menjelaskan bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) memberikan arah baru kebijakan pertambangan mineral dan batubara Indonesia ke depan, termasuk dalam hal pengaturan Domestic Market Obligation (DMO), kebijakan produksi mineral dan batubara, peningkatan nilai tambah pertambangan, serta pertambangan yang baik dan benar.
“UU Minerba mewajibkan regristrasi ulang bagi semua ijin tambang yang dikeluarkan Bupati-bupati, dan berdasarkan data dari Dirjen Minerba ijin yang dikeluarkan para bupati tidak sama dengan daftar di pemerintah pusat dalam hal ini Dirjen Minerba,” terang Riefky.
Jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati/Walikota yang mengeluarkan ijin-ijin pertambangan itu sudah menyalahi prosedure.
Sementara Asfihani Anggota Tim Kunker Komisi VII DPR RI (F-Demokrat) menjelaskan bahwa dari pertemuan tersebut menemukan salah satu perusahaan yang mendapatkan ijin usaha pertambangan eksploitasi ternyata perusahaan tersebut masih melakukan ekplorasi. “Inikan kebalik, harusnya prosesnya dalam perijinan dari visibilisi tadi eksplorasi baru ijin produksi,” paparnya.
“Ini akan kita tertibkan, dan ini baru salah satu contoh yang ada di Kalbar. Kita yakin yang 10.000 ijin yang telah dikeluarkan pemerintah daerah itu mungkin kebanyakan seperti ini. Karena dia hanya mengejar ijin keluar. Ijin ini juga belum tentu dia gunakan untuk melakukan kegiatan di lapangan bisa juga untuk kepentingan IPO,” tambah Asfihani.
“Melihat kenyataan ini, Komisi VII DPR RI akan melakukan evaluasi berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dari pemilik tambang dalam rangka melaksanakan UU Nomor 4/2009.” Katanya.
Sedangkan mengenai tumpang tindih ijin, Asfihani menjelaskan bahwa yang menjadi persoalan adalah adanya tumpang tindih berkaitan dengan ijin dengan ijin. Misalnya di satu areal ada ijin PKP2B dan ijin KP, tapi kemudian dikeluarkan lagi ijin yang sama.
“Hal ini yang harus disikapi, artinya bahwa pemerintah pusat tidak dapat melegalkan atau memverifikasi ijin yang terakhir/belakangan,” imbuh Asfihani.
Jika tumpang tindih berkaitan dengan kegiatan perkebunan dan sebagainya bisa diselesaikan dengan cara B to B, artinya si pemilik lahan yang diatasnya itu ada kegiatan kebun dengan syarat ijin pertambangan lebih dulu diterbitkan, maka tentunya yang menanam diatas kegiatan tambang itu harus legowo untuk menegosiasikan lahannya itu untuk bisa dijadikan areal tambang.
Perusahaan pertambangan yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain PT. Alam Sambas Sejahtera, PT. Alu Sentosa, PT. Dinamika Sejahtera Mandiri, PT. Mega Citra Utama, PT. Persada Pratama Cemerlang, dan PT. Citra Mineral Investindo.
Dalam pertemuan, perusahaan pertambangan yang hadir tersebut menyampaikan keluhan tidak adanya sosialisasi yang baik, sehingga persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh Dirjen Minerba tidak bisa dilakukan secara optimal. (sc) foto:sc/parle